Kamis, 24 September 2009

Pendekatan-Pendekatan yang Didasarkan pada Tradisi (penafsiran Kitab Suci)

Pendekatan-Pendekatan yang Didasarkan pada Tradisi

Metode-metode sastra yang baru saja kita bicarakan, meskipun berbeda dengan metode historis-kritis karena memberi perhatian yang besar pada kesatuan internal atas teks-teks yang dipelajari, tetap tidak sepenuhnya memadai untuk menafsirkan Alkitab, karena metode-metode tersebut mempertimbangkan masing-masing teks secara lepas-lepas. Akan tetapi, Alkitab bukanlah kumpulan teks-teks yang tidak berhubungan satu sama lain. Alkitab adalah kumpulan kesaksian yang mempakan satu kesatuan menyelumh dari satu Tradisi besar. Agar sungguh-sungguh memadai terhadap objek studinya, eksegese alkitabah harus sungguh-sungguh mempertahankan kebenaran ini. Hal inilah yang sebenarnya merupakan perspektif yang digunakan oleh sejumlah pendekatan yang sedang dikembangkan saat ini.

1.Pendekatan Kanonik
Pendekatan "kanonik", yang berasal dari Amerika Serikat sekitar dua puluh tahun yang lalu, berawal dari persepsi bahwa metode historis-kritis kadang-kadang mengalami kesulitan besar untuk sampai pada level yang sungguh-sungguh teologis dalam kesimpulan yang dihasilkannya. Pendekatan ini bertujuan untuk melaksanakan tugas teologis dari penafsiran Alkitab secara lebih baik dengan berpangkal dari dalam kerangka iman eksplisit: Alkitab sebagai suatu kesatuan utuh.

Untuk mencapai hal ini, pendekatan ini menafsirkan masing-masing teks alkitabiah dalam terang Kanon Kitab Suci, yakni Kanon Alkitab seperti diterima sebagai norma iman oleh komunitas orang percaya. Pendekatan kanonik mencoba meletakkan masing-masing teks dalam rencana tunggal Allah, dengan tujuan untuk sampai pad a suatu pemaparan Kitab Suci yang sungguh-sungguh valid untuk zaman kita. Metode ini tidak mengklaim dirinya untuk menjadi pengganti metode historis-kritis, sebaliknya, yang menjadi harapan adalah melengkapinya. Ada dua perbedaan sudut pandang dalam metode ini yang bisa disampaikan:

Brevard S. Childs memusatkan perhatiannya pada bentuk akhir yang kanonik dari teks tertentu (entah sebuah kitab atau kumpulan), yaitu bentuk yang diterima oleh komunitas sebagai suatu ungkapan iman dan aturan hidup yang berwibawa.

James A. Sanders, lebih daripada sekadar melihat bentuk akhir teks yang baku, mengarahkan perhatiannya pad a "proses kanonik" atau perkembangan progresifKitab Suci yang diterima oleh komunitas yang percaya sebagai otoritas normatif. Studi kritis atas proses ini meneliti cara bagaimana tradisi-tradisi yang lebih tua digunakan terus-menerus dalam konteks baru, sebelum akhirnya membentuk kesatuan yang sekaligus stabil dan tetap dapat disesuaikan, koheren sambil tetap mempertahankan bahan-bahan yang beragam-singkatnya, suatu kesatuan utuh dan lengkap, di mana komunitas beriman dapat menemukan jati dirinya. Dalam proses ini berbagai prosedur hermeneutis digunakan dan hal ini terus berlangsung bahkan setelah ada pembakuan kanon. Prosedur-prosedur ini

sering kali bersifat midrastik, yang berfungsi membuat teks alkitabiah tetap relevan untuk masa yang akan datang. Prosedur-prosedur ini mendukung interaksi yang tetap antara komunitas dengan Kitab Suci, yang menghendaki suatu penafsiran yang selalu mencoba mengupayakan agar tradisi tidak ketinggalan zaman.

Pendekatan kanonik dengan tepat memberikan reaksi melawan pendekatan yang memberikan nilai yang terlalu berlebihan atas apa yang dianggap sebagai asli dan kuno, seolah-olah merupakan satu-satunya nilai yang autentik.Tulisan-tulisan yang diinspirasikan menjadi Kitab Suci justru karena diakui oleh Gereja sebagai pedom~n iman. Dari sinilah, dalam terang ini, didapat makna dan bentuk akhir di mana masing-masing kitab dari Kitab Suci muncul dan juga makna dari keseluruhan di mana sumua kitab bersama-sama tersusun sebagai Kanon. Masing-masing kitab hanya menjadi alkitabiah sejauh berada dalam terang Kanon sebagai keseluruhan.

Jemaat yang percayalah yang menyediakan konteks yang sungguh-sungguh tepat untuk menafsirkan teks-teks kanonik. Dalam konteks ini, iman dan Roh Kudus memperkaya eksegese; otoritas Gereja, yang bertindak sebagai pelayan jemaat, harus memperhatikan hal ini sehmgga penafsiran ini tetap setia pada Tradisi agung yang telah menghasilkan teks-teks tersebut (bdk. Dei Verbum, 10) Pendekatan kanonik harus berjuang menghadapi lebih dari satu masalah ketika mencoba mendefinisikan "proses kanonik". Persisnya, kapankah suatu teks menjadi kanonik? Tampaknya masuk akal jika kita menggambarkan bahwa kanonisasi itu terjadi sejak jemaat melekatkan suatu otoritas normatif pada tulisan-tulisan tersebut, bah~an jika hal itu terjadi sebelum teks mencapai bentuk akhirnva yang definitif. Kita bisa berbicara ten tang suatu he~m~neutika "kanonik" begitu pengulangan tradisi, yang terjadi dengan memperhitungkan aspek-aspek baru dari situasi itu (entah situasi religius, kultural, atau teologis), mulai memelihara identitas pesan itu. Akan tetapi, suatu pertanyaan muncul: dapatkah suatu proses penafsiran yang menuntun kepada terbentuknya Kanon diakui sebagai prinsip yang membimbing penafsiran Kitab Suci sekarang?

Di sisi lain, hubungan antara Kanon-kanon Yahudi dan Kristen yang begitu kompleks menimbulkan banyak problem penafsiran. Gereja Kristen menerima tulisan-tulisan yang berpengaruh dalam jemaat Yahudi-Hellenis sebagai kitab "Perjanjian Lama". Tetapi beberapa dari tulisan ini tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani atau ditemukan di sana dalam bentuk yang sedikit berbeda. Karena itu corpus-nya berbeda. Akibat dari fakta ini adalah bahwa penafsiran kanonik tidak identik dalam masing-masing kasus, dengan pertimbangan bahwa masing-masing teks harus dibaca dalam kaitannya dengan seluruh corpus. Akan tetapi, terutama, Gereja membaca Perjanjian Lama dalam terang misteri Paskah-wafat dan kebangkitan Yesus Kristus-yang membawa kebaruan radikal dan dengan otoritas yang berdaulat, memberi makna pada Kitab Suci yang sangat menentukan dan definitif (bdk. Dei Ver~um, 4). Penentuan makna baru ini menjadi suatu unsur integral dari iman Kristiani. Namun demikian pendekatan ini tidak harus menyingkirkan semua usaha supaya tetap konsisten dengan penafsiran kanonik sebelumnya yang mendahului Paskah Kristen. Orang harus menghormati tiap-tiap tahap sejarah penyelamatan. Menghilangkan makna khas dari Perjanjian Lama berarti mencabut Perjanjian Baru dari akar historisnya.

2.Pendekatan dengan Memanfaatkan Tradisi Penafsiran Yahudi
Perjanjian Lama mencapai bentuk finalnya dalam dunia Yahudi empat atau lima abad sebelum zaman Masehi. Yudaisme zaman ini juga memberi acuan bagi asal-usul Perjanjian Baru dan Gereja perdana. Sejumlah studi ten tang sejarah Yudaisme kuno dan khususnya berbagai riset yang dirangsang oleh penemuan-penemuan di Qumran menyoroti kompleksitas dunia Yahudi, baik di tanah Israel maupun di Diaspora, selama periode ini.

Dalam dunia inilah penafsiran Kitab Suci dimulai. Salah satu kesaksian paling kuno ten tang penafsiran Yahudi adalah terjemahan Yunani yang dikenal sebagai Septuaginta. Targum-targum yang ditulis dalam bahasa Aram juga menjadi kesaksian lebih lanjut mengenai aktivitas yang sama, yang berlangsung terus sampai sekarang, dengan melibatkan begitu banyak cara-cara ilmiah dalam melestarikan teks Perjanjian Lama dan menerangkan makna teks-teks alkitabiah di dalam prosesnya. Pada tiap tahap, para ekseget Kristen yang cemerlang, mulai dari Origenes sampai ke Hieronimus, telah berusaha menarik keuntungan dari pembacaan Kitab Suci gaya Yahudi untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik ten tang Kitab Suci. Banyak ekseget modern mengikuti contoh ini.

Tradisi Yahudi kuno memberi kemungkinan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik khususnya tentang Septuaginta, yaitu Alkitab Yahudi yang akhirnya menjadi bagian pertama Alkitab Kristen, paling tidak selama empat abad pertama zaman Gereja dan bahkan tetap berlanjut di Gereja Timur sampai saat ini. Karya sastra Yahudi di luar kanon, yang disebut apokrip atau intertestamentaria, yang begitu banyak dan beragam, merupakan sumber penting bagi tafsir Perjanjian Baru. Berbagai langkah penafsiran yang diambil oleh berbagai aliran dalam Yudaisme sesungguhnya dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama itu sendiri, misalnya, dalam Kitab Tawarikh dengan mengaeu pada Kitab Samuel dan Raja-raja, dan juga dalam Perjanjian Baru, seperti misalnya dalam cara-cara Paulus mendasarkan argumentasinya pada Kitab Suei. Berbagai maeam bentuk-perumpamaan, alegori, antologi dan florilegia, pembaeaan ulang (relectures), teknik pesher, metode-metode untuk menghubungkan teks-teks yang sebenarnya tidak berkaitan, mazmur dan himne, penglihatan, sederetan pewahyuan dan mimpi, komposisi kebijaksanaan-semuanya itu merupakan hal yang Iazim baik untuk Perja~ian Lama maupun Perjanjian Baru, seperti halnya dalam lingkaran Yahudi sebelum dan sesudah zaman Yesus. Targum-targum dan literatur Midrastik menggambarkan tradisi homiletik dan model penafsiran alkitabiah yang dipraktekkan seeara luas dalam Yudaisme pada abad-abad pertama.

Selain itu ban yak ekseget Kristiani dalam bidang Perjanjian Lama juga memberikan perhatian pada komnentator-komentator, ahli tata bahasa dan penulis leksikon Yahudi dari abad pertengahan dan periode berikutnya sebagai bantuan untuk memahami bagian-bagian atau ungkapan-ungkapan sulit yang langka atau bahkan hanya muncul satu kali. Rujukan pad a karya-karya Yahudi seperti itu akhir-akhir ini lebih sering muneul dalam diskusi eksegetis daripada sebelumnya.

Dunia akedemis Yahudi dalam studi Kitab Suci dengan seluruh kekayaannya, dari permulaannya di zaman kuno sampai saat ini, merupakan harta yang sangat bernilai bagi penafsiran Perjanjian Lama dan Baru, asal di gunakan dengan bijaksana. Yudaisme kuno mempunyai bentuk yang amat beragam. Kelompok Farisi yang akhirnya menjadi paling umum, yakni dalam bentuk Yudaisme rabinik, sama sekali bukanlah satu-satunya bentuk yang ada. Teks-teks Yahudi kuno dihasilkan dalam rentang waktu beberapa abad. Oleh karena itu, pentinglah menyusun nya seeara kronologis sebelum kita membandingkan teks-teks yang ada. Akan tetapi, yang terutama adalah bahwa pola komunitas Yahudi dan Kristiani secara keseluruhan sangat berbeda satu sama lain: dari sisi komumtas Yahudi, dalam gaya yang sangat beragam, pokok yang utama adalah suatu agama yang mendefinisikan suatu bangsa dan gaya hidup yang didasarkan pada pewahyuan tertulis dan tradisi lisan; sedangkan, dari sisi komunitas Kristen, yang menjadi pokok adalah iman akan. Yesus Tuhan-Dia yang wafat, dibangkitkan, dan terus hidup, Mesiaskan Anak Allah. Dalam iman akan pribadi inilah komumtas Kristen berkumpul. Sehubungan dengan penafsiran Kitab Suci, dua titik berangkat yang berbeda ini menciptakan dua konteks yang berbeda, yang kendati ada titik temu dan kesamaan, pada kenyataannya sungguh-sungguh berbeda.

3.Pendekatan melalui Sejarah Pengaruh Tells (Wirkungsgeschichte)
Pendekatan ini mendasarkan diri pada dua prinsip:
a) sebuah teks hanya menjad] sebuah karya sastra sejauh bertemu dengan pembaca yang membuat teks menjadi hidup dengan memanfaatkannya bagi mereka;
b) pemanfaatan teks ini, yang dapat terjadi baik pada level individu ataupun komunitas dan dapar mengambil bentuk dalam berbagai bidang (sastra, seni, teologi, askese, dan mistik), menyumbang pada pemahaman teks yang lebih baik.

Tanpa mengatakan bahwa metode ini sama sekali tidak dikenal di zaman kuno, pendekatan ini dikembangkan dalam kajian-kajian sastra an tara tahun 1960-1970 yang merupakan periode ketika perhatian dipusatkan pada hubungan antara sebuah teks dan pembacanya. Kajian-kajian alkitablah hanya dapat menarik keuntungan dari penehtIan model ini, lebih-lebih sejak filsafat hermeneutik untuk bidangnya sendiri, menekankan pentingnya jarak antara sebuah karya dan pengarangnya, juga antara sebuah karya dan para pembacanya. Dalam perspektif ini, sejarah mengenai dampak yang dihasilkan oleh sebuah buku. atau suatu bagian dari Kitab Suci (Wirkungsgeschichte) mulai masuk sebagai bagian dari tugas penafsiran. Penelitian semacam ini berusaha meneliti perkembangan penafsiran dan zaman ke zaman di bawah pengaruh keprihatinan pembaca yang dibawa ke dalam teks. Penelitian ini juga mengevaluasi pentingnya peran yang dimainkan tradisi dalam menemukan makna teks-teks alkitabiah.

Kehadiran satu sama lain an tara teks dan pembaca menciptakan dinamikanya sendiri, karena teks itu menjalankan suatu pengaruh dan membangkitkan reaksi. Ada semacam gaung yang didengar oleh pembaca baik secara pribadi maupun secara bersama. Pembaca tidak pernah menjadi subjek yang terisolasi. Dia berpartisipasi dalam konteks sosial tertentu dan hidup dalam suatu tradisi tertentu. Para pembaca menghadapi sebuah teks itu dengan membawa pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri, melakukan seleksi tertentu, mengajukan penafsiran dan, pada akhirnya mampu menciptakan karya selanjutnya atau mengambil inisiatif lain yang secara langsung diilhami pembacaan teks alkitabiah yang mereka lakukan.

Sejumlah contoh pendekatan demikian sudah jelas. Sejarah penafsiran Kitab Kidung Agung memberi ilustrasi yang bagus: sejarah ini menunjukkan bagaimana kitab ini diterima dalam periode bapa-bapa Gereja, lingkungan para rahib Gereja abad pertengahan, dan kemudian dimanfaatkan oleh seorang penulis mistik seperti Yohanes dari Salib. Dengan demikian, pendekatan itu memberi kesempatan yang lebih baik untuk menyingkapkan semua dimensi makna yang terkandung dalam tulisan tertentu. Sama halnya dalam Perjanjian Baru, sangat mungkin dan berguna menyoroti makna dari suatu perikop (misalnya, makna "orang muda yang kaya" dalam Mat 19:16-26) dengan menunjuk betapa besar pengaruhnya sepanjang sejarah Gereja.

Pada waktu yang sama, sejarah juga menggambarkan penyebaran penafsiran-penafsiran yang tendensius dan keliru, dengan akibat yang buruk-seperti misalnya, penafsiran yang mendorong munculnya sikap anti-Semit atau bentuk lain yang bersifat diskriminasi ras atau berbagai jenis khayalan ten tang mileniarisme. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak dapat menjadi suatu bidang yang sungguh-sungguh otonom. Diperlukan ketajaman untuk memilah-milah. Dibutuhkan kecermatan untuk tidak mengistimewakan tahap yang satu atau yang lain dari sejarah pengaruh teks sedemikian rupa sehingga menjadi satu-satunya norma abadi bagi penafsiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar