Kamis, 24 September 2009

Metode Historis-Kritis (penafsiran Kitab Suci)

Metode Historis-Kritis

Metode historis-kritis adalah sebuah metode yang sangat diperlukan bagi studi ilmiah atas makna teks-teks kuno. Kitab Suci, sejauh merupakan "Sabda Allah dalam bahasa manusia", disusun oleh para pengarang manusia dalam semua bagiannya dan dalam semua sumber-sumber yang ada di belakangnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penggunaan metode ini tidak hanya dimungkinkan, tetapi sebenarnya diperlukan.

1.Sejarali Metode Historis-Kritis
Untuk memahami dengan tepat metode yang digunakan saat ini, maka pemahaman sekilas atas sejarahnya akan sangatmembantu. Unsur-unsur tertentu dari metode tafsir ini sangatlah kuno. Unsur-unsur itu pada zaman kuno telah digunakan oleh para komentator sastra Yunani klasik dan, kemudian, selama periode Bapa-bapa Gereja, oleh para pengarang seperti Origenes, Hieronimus, dan Augustinus. Pada waktu itu, metode ini belum sangat berkembang. Bentuk-bentuknya yang modern merupakan hasil dari penyempurnaan yang dihasilkan khususnya sejak zaman humanisme Renaissans beserta gagasan mereka untuk kembali ke sumber-sumber (recursus ad fontes). Kritik teks atas Perjanjian Baru sebagai suatu disiplin ilmu sebetulnya baru bisa diperkembangkan sejak kira-kira tahun 1800, setelah kaitannya dengan Textus receptus diputuskan. Akan tetapi, awal dari kritik sastra berasal dari abad ke-17, berkat karya Richard Simon, yang menunjukkan adanya teks-teks ganda (doublets), ketidaksesuaian dalam hal isi, dan perbedaan gaya bahasa yang dapat diamati dalam Pentateukh-suatu penemuan yang tidak mudah didamaikan dengan gagasan yang mengaitkan seluruh teks pada Musa sebagai pengarang tunggal. Dalam abad ke-18, Jean Astruc sudah puas dengan keterangan bahwa Musa menggunakan berbagai sumber (khususnya dua sumber utama) untuk menyusun Kitab Kejadian. Akan tetapi, lamb at laun, para kritisi Alkitab menentang kepengarangan Musa atas Pentateukh dengan keyakinan yang semakin kuat. Kritik sastra untuk waktu yang lama disamakan dengan usaha untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang b .rbcda dalam suatu teks. Maka, pada abad ke-19 berkembanglah "Hipotesis Dokumentaria" yang berusaha memberikan keterangan tentang proses pengeditan Pentateukh. Menurut hipotesis ini, empat dokumen, yang sampai pad a tahap tertentu sejajar satu sama lain, telah terjalin bersama: yaitu dokumen Yahwis (J), dokumen Elohis (E), dokumen Deuteronomis (D), dan dokumen Para Imam (P). Editor terakhir memanfaatkan dokumen terakhir (P) sebagai struktur bagi keseluruhan. Dengan cara yang sama, para ahli menggunakan hipotesis "Dua Sumber" untuk menerangkan baik kesamaan mau pun ketidaksamaan diantara ketiga Injil Sinoptik. Menurut teori ini, Injil Matius dan Lukas disusun berdasarkan dua sumber utama: di satu sisi, Injil Markus dan, di sisi lain, kumpulan dari sabda-sabda Yesus (yang disebut "Q", dari kata Jerman QueUe, yang berarti "sumber"). Dalam segi-segi yang hakiki, dua hipotesis di atas tetap mempertahankan keunggulannya dalam eksegese ilmiah saat ini-meskipun juga mengalami tantangan.

Dengan kehendak untuk menyusun suatu kronologi teks-teks biblis, kritik literer seperti ini membatasi diri pada tugas memo tong dan membongkar teks agar dapat mengidentifikasi berbagai sumber. Metode ini kurang memberi perhatian yang memadai pada bentuk akhir teks dan pada pesan yang terkandung dalam bentuk yang secara aktual ada. Ini berarti bahwa penafsiran historis-kritis sering kali tampak sebagai sesuatu yang sekadar menghancurkan teks. Masalahnya menjadi semakin parah ketika, atas pengaruh dari sejarah perbandingan agama-agama seperti terjadi kemudian atau atas dasar ide-ide filosofis tertentu, beberapa ahli tafsir mengungkapkan berbagai penilaian yang sangat negatif terhadap Alkitab.

Adalah Hermann Gunkel yang membawa metode ini keluar dari ghetto kritik literer yang dipahami dengan cara demikian. Meskipun ia masih menganggap kitab-kitab Pentateukh sebagai suatu kumpulan, ia memberi perhatian pada susunan khusus dari unsur-unsur teks yang ber-beda-beda. Ia mencoba mendefinisikan jenis sastra (genre) masing-masing bagian (misalnya, "legenda" atau "himne") dan setting aslinya dalam kehidupan komunitas atau Sitz im Leben (misalnya, latar belakang hukum atau liturgi, dst.). Kepada model penelitianjenis sastra ini, digabungkan "studi kritis tentang bentuk-bentuk" atau "kritik bentuk" (Formgeschichte), yang diperkenalkan oleh Martin Dibelius dan Rudolf Bultmann dalam penafsiran injil-injil sinoptik. Bultmann menggabungkan kajian kritik bentuk dengan hermeneutika biblis yang diilhami oleh filsuf eksistensialis Martin Heidegger.

Akibatnya, Formgeschichte sering kali menimbulkan keberatan-keberatan serius. Kendati demikian, salah satu hasil dari metode ini adalah untuk menunjukkan secara lebih jelas bahwa tradisi yang termuat dalam Perjanjian Baru mempunyai asal-usul dan menemukan bentuk dasar-nya dalam komunitas Kristiani, atau Gereja perdana, berawal dari khotbah Yesus sendiri sampai pada kelompok yang mewartakan bahwa Yesus adalah Kristus. Akhirnya, kritik bentuk dilengkapi oleh Redakstionsgeschichie ("Kritik Redaksi"), yakni "studi kritis ten tang proses editing". Metode ini mencoba menerangkan sumbangan personal dari masing-masing penginjil dan menyingkapkan kecenderungan-kecenderungan teologis yang memberi bentuk pada karya yang diolahnya. Saat metode yang terakhir ini diterapkan, lengkaplah sudah seluruh rangkaian dari tahap-tahap yang berbeda-beda, yang merupakan kekhasan metode historis-kritis: dari kritik teks orang beranjak ke kritik literer, yang bertugas membedah teks untuk dapat menemukan sumber-sumber yang ada di baliknya; kemudian orang beranjak ke studi kritis tentang bentuk dan, akhirnya, sampai pada suatu analisis tentang proses editorial, yang bertujuan untuk memberi perhatian khusus pada teks setelah segala proses dilaksanakan. Semua ini memungkinkan orang untuk memahami maksud pengarang dan editor Alkitab secara lebih persis, dan juga pesan yang ingin mereka sampaikan kepada para pembaca pertama. Pencapaian hasil ini menjadikan metode historis-kritis sebagai metode yang sangat penting.

2.Prinsip-Prinsip Metode Historis-Kritis
Prinsip-prinsip dasar metode historis-kritis dalam bentuknya yang klasik adalah sebagai berikut:
Metode ini disebut metode historis, bukan hanya karena metode ini diterapkan pada teks-teks kuno-dalam kasus ini, teks-teks Alkitab-dan memahami maknanya dari sudut pan dang historis, tetapi juga dan terutama karena metode ini mencoba menerangkan proses-proses historis yang memunculkan teks-teks biblis, suatu proses diakronis yang sering kali kompleks dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam tahap-tahap yang berbeda dari proses pembentukannya, teks Kitab Suci dialamatkan pada para pendengar dan pembaca dari aneka macam golongan, yang hidup di temp at dan waktu yang berbeda.

Disebut metode kritis, karena dalam setiap langkahnya (dari kritik tekstual sampai kritik redaksi), metode ini bekerja dengan bantuan kriteria ilmiah untuk mencapai hasil seobjektif mungkin. Dengan cara ini, metode ini berhasil membuka makna teks-teks alkitabiah yang sering kali sangat sulit untuk dipahami kepada para pembaca modern.

Sebagai suatu metode analitis, metode historis-kritis mempelajari teks alkitabiah dengan cara yang sama seperti mempelajari teks kuno lainnya dan memberi keterangan atas teks terse but sebagai suatu ungkapan wacana manusiawi. Namun demikian, terutama dalam bidang kritik redaksi, metode ini memungkinkan ahli tafsir memperoleh pemahaman yang lebih baik sehubungan dengan kandungan pewahyuan ilahi.

3. Deskripsi Metode Historis-Kritis
Pada tahap perkembangannya saat ini, metode historis-kritis bekerja dengan Iangkah-langkah berikut:
Kritik teks, seperti telah dipraktekkan untuk waktu yang sangat lama, mengawali rangkaian pekerjaan akademis ini. Dengan mendasarkan diri pada kesaksian manuskrip-manuskrip paling kuno dan terbaik, dan juga papirus-papirus, versi-versi kuno tertentu dan teks-teks dari zaman para Bapa Gereja, kritik teks berusaha menentukan, suatu teks Alkitab yang sedekatmungkin dengan aslinya dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu.

Kemudian teks itu diteliti melalui analisis linguistik (morfologi dan sintaksis) dan analisis semantik (makna kata), dengan menggunakan pengetahuan yang berasal dari filologi historis. Adalah merupakan peranan kritik literer untuk menentukan awal dan akhir dari unit-unit teks, baik besar maupun kecil, dan menentukan koherensi internal dari suatu teks. Adanya pendobelan, perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan, dan indikator-indikator lain merupakan suatu petunjuk bahwa teks-teks tertentu merupakan hasil suatu penggabungan. Teks seperti ini dapat dibagi ke dalam unit-unit kecil, yakni langkah berikut yang merupakan usaha untuk melihat apakah unit-unit kecil ini berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Kritik literer berusaha mengidentifikasi jenis sastra, lingkungan so sial yang memunculkannya, sifat-sifat khasnya, dan sejarah perkembangannya. Kritik tradisi menempatkan teks dalam arus tradisi dan mencoba menggambarkan perkembangan tradisi ini dalam perjalanan zaman. Akhirnya, kritik redaksi mengkaji perubahan-perubahan yang dialami oleh suatu teks sebelum terbakukan

dalam bentuk finalnya. Kritik redaksi juga menganalisis tahap final ini, yakni mencoba mengidentifikasi, sejauh mungkin, kecenderungan yang secara khusus merupakan ciri dari proses terakhir ini. Langkah-Iangkah sebelumnya mencoba menerangkan suatu teks dengan menelusuri asal-usul dan perkembangannya dalam perspektif diakronis, sementara langkah terakhir ini diakhiri dengan suatu studi dalam perspektif sinkronis: dalam hal ini, suatu teks diterangkan sebagaimana adanya sekarang, atas dasar hubungan timbal balik an tara berbagai unsurnya, dan dengan memperhatikan ciri khasnya sebagai pesan yang hendak dikomunikasikan oleh pengarang kepada orang-orang sezamannya. Dalam hal ini, orang harus mempertimbangkan tuntutan-tuntutan teks dari sudut pandang tindakan dan kehidupan (jonction pragmatique).

Jika teks-teks yang dipelajari termasuk jenis sastra historis atau dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa historis, kritik historis melengkapi kritik sastra untuk menentukan pentingnya teks dari segi historis, dalam pengertian modern.

Dengan jalan ini diterangkan berbagai lapisan yang ada di balik pewahyuan alkitabiah dalam perkembangan historisnya yang konkret.

4.Evaluasi
Penilaian apakah yang seharusnya diberikan pada metode historis-kritis, khususnya pada tahap perkembangannya saat ini?

Jika digunakan dengan cara yang objektif, metode ini merupakan suatu metode yang dari dirinya sendiri mengimplikasikan tidak adanya pandangan yang apriori. Jika penggunaannya disertai prinsip-prinsip apriori, hal itu tidak berasal dari metode itu sendiri, tetapi berasal dari pilihan-pilihan hermeneutika tertentu yang mengarahkan penafsiran dan bisa bersifat tendensius.

Dengan berorientasi pada kritik sumber dan sejarah agama-agama seperti terjadi pada awalnya, metode ini berperan untuk menyediakan jalan masuk yang segar kepada Alkitab. Metode ini memperlihatkan bahwa Kitab Suci merupakan suatu kumpulan tulisan, yang kebanyakan, terutama sehubungan dengan Perjanjian Lama, bukanlah hasil karya seorang pengarang tunggal, tetapi mempunyai suatu sejarah yang panjang, yang tidak bisa dilepaskan baik dari sejarah Israel maupun dari sejarah Gereja perdana. Sebelumnya, penafsiran Yahudi atau Kristen atas Alkitab tidak mempunyai kesadaran yangjelas akan situasi historis yang konkret dan berbeda-beda dimana Sabda Allah berakar di antara umat. Penafsiran terse but hanya memiliki kesadaran umum dan tipis. Konfrontasi yang terjadi pada permulaan an tara eksegese tradisional dan pendekatan ilmiah, yang pada awalnya dengan sadar memisahkan diri dari iman dan kadang-kadang bahkan berlawanan, tentu menyakitkan; namun kemudian hal itu terbukti berguna: begitu terbebas dari prasangka-prasangka eksternal, metode ini menuntun kita kepada suatu pemahaman yang lebih tepat atas kebenaran Kitab Suci (bdk. Dei Verbum, 12). Menurut Divino Afflante Spiritu, pencarian makna literalKitab Suci merupakan tugas hakiki dari eksegese dan, untuk mencapai tugas ini, perlulah menentukan jenis sastra dari teks (bdk. Ench. Bibl.560), sesuatu yang bisa dicapai dengan bantuan metode historis-kritis.

Tentu saja, penggunaan metode hsitoris-kritis secara klasik menyingkapkan juga keterbatasan-keterbatasannya. Metode ini membatasi diri pada penyelidikan makna teks alkitabiah dalam situasi historis yang memunculkannya dan tidak memperhatikan kemungkinan-kemungkinan makna lain yang dinyatakan pada tahap-tahap selanjutnya dari pewahyuan alkitabiah dan sejarah Gereja. Meskipun demikian, metode ini telah menyumbang banyak bagi munculnya karya-karya eksegetis dan teologi alkitabiah yang sungguh bernilai.

Sudah sejak lama para ahli sekarang berhenti menggabungkan metode itu dengan sistem filsafat tertentu. Terutama baru-baru ini, ada kecenderungan di an tara para ekseget untuk mengalihkan metode ini ke arah yang lebih memperhatikan bentuk suatu teks, dan tidak begitu memperhatikan isi. Akan tetapi, kecenderungan ini telah dikoreksi melalui penerapan semantik yang makin beragam (semantik kata-kata, frase, teks) dan melalui studi tentang tuntutan-tuntutan teks dari sudut pandang tindakan dan kehidupan (aspect pragmatique).

Berkaitan dengan masuknya analisis sinkronis atas teks-teks ke dalam metode historis-kritis, kita harus mengakui bahwa dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu tindakan yang sah. Karena teks dalam tahap finallah, lebih daripada edisi-edisi sebelumnya, yang merupakan ungkapan Sabda Allah. Akan tetapi, studi diakronis tetap sangat diperlukan untuk mengenal dinamika historis yang menjiwai Kitab Suci dan untuk menerangi kekayaan kompleksitasnya: sebagai contoh, Kodeks Perjanjian yang terdapat dalam Keluaran 21-23 mencerminkan suatu situasi politis, sosial, dan religius dalam masyarakat Israel yang berbeda dengan yang tercermin dalam kodeks hukum lain yang terdapat dalam Kitab Ulangan (bab 12-26) dan Kitab Imamat (Hukum Kekudusan, bab 17-26) .Kita perlu berhati-hati untuk tidak begitu saja menggantikan kecenderungan yang terlalu menitikberatkan pada sejarah-untuk ini eksegese lama, yaitu eksegese historis-kritis bisa dikritik-dengan ekstrem yang berlawanan, yang mengabaikan sejarah demi suatu eksegese yang mungkin sepenuhnya bersifat sinkronis.

Singkatnya, tujuan metode historis-kritis adalah menentukan, khususnya dengan pendekatan diakronis, makna yang ingin diungkapkan oleh para pengarang dan editor Kitab Suci. Bersama dengan metode-metode dan pendekatan-pendekatan lainnya, metode historis-kritis membuka jalan bagi pembaca modern kepada makna teks alkitabiah, seperti yang kita miliki sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar