Kamis, 24 September 2009

Penafsiran Fundamentalis (penafsiran Kitab Suci)

Penafsiran Fundamentalis

Penafsiran kaum fundamentalis bertitik tolak dari prinsip bahwa Alkitab, sebagai Sabda Allah, yang diilhami oleh Roh Kudus dan bebas dari kesalahan, seharusnya dibaca dan ditafsirkan secara literal dalam semua detailnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan "penafsiran harfiah" adalah penafsiran literal secara naif, yang berarti menyingkirkan setiap upaya memahami Alkitab yang memperhitungkan asal-usul dan perkembangan historisnya. Oleh karena itu, kaum fundamentalis menolak penggunaan metode historis-kritis, dan tentu saja juga menolak penggunaan metode ilmiah untuk menafsirkan Kitab Suci.

Penafsiran fundamentalis berasal dari zaman Reformasi, yang muncul dari keprihatinan akan kesetiaan pada makna literal Kitab Suci. Sesudah abad Pencerahan, penafsiran fundamentalis muncul dalam aliran Protestan sebagai suatu benteng melawan penafsiran liberal. Istilah "fun'damentalis" dikaitkan secara langsung dengan Kongres Alkitab Amerika yang diadakan di Niagara, New York, tahun 1895. Pada pertemuan ini, para ekseget Protestan konservatif merumuskan "lima pokok fundamentalisme": (1) ketidaksalahan verbal dari Kitab Suci (innerancy), (2) keallahan Kristus, (3) kelahiran-Nya dari seorang perawan, (4) ajaran tentang silih (vicarious expiation), dan (5) ke bangki tan badan pada saat kedatangan Kristus yang kedua. Saat cara membaca Alkitab yang fundamentalistik ini meluas ke bagian-bagian dunia yang lain, muncul juga aneka cara penafsiran lain, yang juga sama-sama "literal", di Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Ketika abad ke-20 akan berakhir, model penafsiran ini semakin banyak mendapatkan pengikut dalam pelbagai kelompok dan sekte,juga di an tara orang Katolik.
Fundamentalisme bersikap benar dalam menegaskan inspirasi ilahi dalam Alkitab, ketidaksalahan Sabda Allah, dan kebenaran-kebenaran alkitabiah lain yang termasuk dalam kelima pokok fundamental itu. Akan tetapi, cara mengungkapkan kebenaran-kebenaran tersebut berakar pada sebuah ideologi yang tidak alkitabiah, apa pun yang dikatakan oleh para pendukung pendekatan ini. Karena fundamentalisme menuntut kesetiaan yang tak tergoyahkan pada sudur pandang doktrinal yang kaku dan menekankan pembacaan Alkitab yang menolak segala pertanyaan penelitian kritis apa pun.

Masalah mendasar dengan penafsiran fundamentalistik seperti ini adalah bahwa dengan menolak untuk mempertimbangkan ciri historis dan pewahyuan alkitabiah, pendekatan ini membuat dirinya sendiri tidak mampu menerima kebenaran yang penuh mengenai Inkarnasi itu sendiri. Dalam hubungan dengan Allah, fundamentalisme mencoba menutup kedekatan apa pun an tara yang ilahi dan yang manusiawi. Mereka menolak untuk mengakui bahwa Sabda Allah yang diilhami diungkapkan dalam bahasa manusia dan bahwa Sabda ini diungkapkan, atas dasar inspirasi ilahi, oleh para pengarang manusia yang memiliki kemampuan dan sumber-sumber terbatas. Karena alasan itu, fundamentalisme cenderung menganggap teks alkitabiah seolah-olah didiktekan kata demi kata oleh Roh Kudus. Mereka tidak mampu mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan manusia yang terbentuk melalui berbagai periode. Dengan demikian, merekajuga tidak memperhatikan bentuk-bentuk sastra dan cara berpikir manusiawi yang ditemukan dalam teks alkitabiah, yang sebagian besar merupakan hasil dari suatu proses yang panjang selama periode waktu yang panjang dan yang memuat tanda situasi-situasi historis yang sangat beragam.

Fundamentalisme juga memberikan tekanan secara tidak semestinya pada ketidaksalahan dari detail-detail tertentu dalam teks-teks alkitabiah, khususnya apa yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau yang. dianggap sebagai kebenaran ilmiah. Kelompok ini sering kalli mengganggap historis bagian-bagian yang sejak awal tidak pernah menyatakan sebagai bersifat history. Mereka menganggap segala sesuatu yang historis yang dilaporkan atau diceritakan dengan menggunakan kata kelp dalam bentuk lampau. Dengan demikian, mereka tidak mampu menangkap kemungkinan adanya makna simbolis atau figuratif .

Fundamentalisme sering kali juga menunjukkan kecenderungan untukmengabaikan atau menolak problem-problem yang muncul dari teks-teks alkitabiah dalam bentuk aslinya dalam bahasa Ibrani, Aram atau. Yunani. Mereka sering secara sempit terikat pada satu terjemahan tertentu entah terjemahan lama atau baru. Begitu Juga,mereka tidak mampu menerima adanya re-reading.(pembacaan kembali, relectures) teks-teks tertentu yang ditemu-
kan dalam Kitab Suci.

Berkaitan dengan Injil, fundamentalisme tidak mempertimbangkan adanya perkembangan tradisi injil.i, tetapi secara naif mencampuradukkan tahap akhir dan tradisiini dengan awalnya. Pada waktu yang sama fundamentalis me juga mengabaikan suatu fakta pentmg: cara jemaat Kristen perdana sendiri memahami dampak yang dihasilkan oleh Yesus dari Nazaret dan pesan-pesan-Nya. Padahal justru di situlah kita menemukan suatu kesaksian akan asal-usul apostolis dari iman Kristiani dan ungkapannya yang langsung. Oleh karena itu, fundamentalisme salah menangkap panggilan yang disuarakan oleh Injil itu sendiri.

Fundamentalisme juga cenderung menggunakan sudut pandang yang sangat sempit. Mereka menerima realitas literal dari suatu kosmologi kuno, kadaluwarsa, hanya karena hal itu terungkap dalam Alkitab. Hal ini me~ghalangi setiap dialog dengan cara pandang yang lebih luas ten tang hubungan an tara budaya dan iman. Cara membaca teks-teks Alkitab tertentu secara tidak kritis ini berguna untuk memperkuat ide-ide politis dan perilaku sosial yang ditandai dengan prasangka, misalnya rasisme yang sama sekaIi bertentangan dengan Injil Kristiani,

Akhirnya, dalam kelekatannya pada prinsip sola scriptura, kelompok fundamentalis memisahkan penafsiran Alkitab dari Tradisi, yang karena dibimbing oleh Roh Kudus, secara autentik berkembang dalam kesatuan dengan Kitab Suci di pusat jemaat beriman. Mereka tidak mampu menyadari bahwa Perjanjian Baru lahir dan mendapat bentuknya di dalam Gereja Kristen dan bahwa Perjanjian Baru merupakan Kitab Suci Gereja Kristen, yang keberadaannya mendahului tersusunnya teks-teks tersebut: Karena itulah fundamentalisme juga sering menJadi anti-Gereja. Mereka menganggap remeh rumusan iman, dogma-dogma dan praktek-praktek Iiturgi yang telah menjadi bagian dari tradisi Gereja, dan juga fungsi Gereja untuk mengajar. Mereka menampilkan diri sebagai suatu bentuk dari penafsiran pribadi yang tidak mengakui bahwa Gereja didirikan atas dasar Alkitab dan menggali kehidupan dan inspirasinya dari Kitab Suci.

Pendekatan fundamentalisme amat berbahaya, karena menarik bagi orang-orang yang mencari jawaban yang siap pakai untuk masalah-masalah kehidupan mereka dari Alkitab. Pendekatan ini dapat menipu mereka, karena memberikan tafsiran-tafsiran saleh namun menyesatkan, dan bukannya mengatakan kepada mereka bahwa Alkitab tidak harus menyediakan jawaban langsung pada masing-masing dan setiap masalah. Tanpa mengatakan begitu banyak kata, fundamentalisme sesungguhnya mengundang orang pada suatu bentuk bunuh diri intelektual. Fundamentalisme memasukkan kepastian palsu ke dalam hidup, karena tanpa disadari mereka mencampuradukkan substansi ilahi atas pesan alkitabiah dengan apa yang kenyataannya merupakan keterbatasan-keterbatasan manusiawinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar