Kamis, 24 September 2009

Pendekatan-Pendekatan Kontekstual (penafsiran Kitab Suci)

Pendekatan-Pendekatan Kontekstual

Tafsiran atas suatu teks selalu bergantung pada gaya berpikir dan keprihatinan pembacanya. Pembaca memberikan perhatian khusus pada aspek tertentu dan, bahkan tanpa menyadarinya, mengabaikan aspek yang lain. Oleh karena itu, tidak bisa dihindarkan bahwa beberapa ekseget memasukkan ke dalam karya-karya mereka sudut pandang mereka yang baru dan responsif terhadap arus pemikiran kontemporeryang sampai saat ini belum cukup mendapat perhatian. Yang penting adalah bahwa mereka melakukan hal itu secara kritis. Sehubungan dengan ini, gerakan-gerakan yang sekarang ini menuntut perhatian khusus adalah gerakan teologi pembebasan dan feminisme.

1.Pendekatan Liberasionis
Teologi pembebasan merupakan sebuah fenomen kompleks, dan seharusnya tidak disederhanakan begitu saja. Gerakan ini mulai memantapkan diri sebagai suatu gerakan teologis pada awal tahun 1970-an '. Selain situasi ekonomis, sosial, dan politik Amerika Latin, titik tolak dari gerakan ini ditemukan dalam dua peristiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Gereja baru-baru ini: Konsili Vatikan II yang bertujuan mengadakan aggiornamento dan mengarahkan karya pastoral Gereja pada kebutuhan dunia sekarang; serta Konferensi para Uskup Amerika Latin II yang diadakan di Medellin pada tahun 1968, yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran konsili untuk menanggapi kebutuhan Amerika Latin. Sejak saat itu gerakan tersebut telah meluas juga ke bagian-bagian dunia lain (Afrika, Asia, kelompok penduduk kulit hitam di Amerika Serikat). .

Tidak mudah untuk menjelaskan bahwa hanya ada "satu" teologi pembebasan dan mendefinisikan metodologinya. Sama sulitnya untuk menentukan secara .tepat cara yang digunakan untuk membaca Alkitab, sehmgga orang bisa melihat keunggulan dan keterbatasannya. Orang dapat mengatakan bahwa teologi pembebasan tidak menggunakan metodologi khusus. Akan tetapi berpangkal dari sudut pandang sosio-budaya dan politik mereka sendiri, mereka mempraktekkan suatu pembacaan Alkitab yang berorientasi pada kebutuhan umat, yang mencari santapan rohani bagi iman dan hidup mereka dalam Kitab Suci.

Teologi pembebasan tidak merasa puas dengan tafsiran objektif yang berpusat pada apa yang dikatakan teks dalam konteks aslinya. Yang diperhatikan adalah pembacaan. yang ditarik dari situasi umat sebagaimana dihayati kini dan di sini. Jika seseorang hidup di lingkungan penindasan, ia seharusnya datang kepada Alkitab untukmenemukan santapan rohani yang mampu menopang umat di dalam perjuangan dan harapannya. Realitas yang ada se~arang seharusnya tidak diabaikan, tetapi sebaliknya, dihadapi dengan maksud untuk meneranginya di bahwa terang Sabda. Dari terang ini akan muncul praksis Kristiani yang autentik, yang membawa pada transformasi masyarakat melalui karya-karya keadilan dan cinta. Dalam pandangan iman, Kitab Suci ditransformasi menjadi suatu dorongan yang dinamis demi pembebasan penuh.

Prinsip-prinsip utama yang menuntun pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Allah hadir dalam sejarah umat-Nya dan membawa kesel~matan bagi mereka. Ia adalah Allah kaum miskin dan tidak dapat membiarkan penindasan atau ketidakadilan.

Oleh ka.rena itu, eksegese tidak bisa hanya bersifat netral, tetapi, ~a~am usaha meniru Allah, harus berpihak pada kaum miskin dan terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan yang tertindas.

Partisipasi dalam perjuangan inilah, yang memungkinkan banyak penafsiran muncul, yang ditemukan hanya keuka teks-teks alkitabiah dibaca dalam konteks solidaritas dengan kaum tertindas.

Karena pembebasan kaum tertindas merupakan suatu proses komunal, komunitas kaum miskin adalah si alamat yang Istimewa dari Alkitab sebagai sabda yang membebaskan. Di samping itu, karena teks-teks alkitabiah ditulis untuk komunitas, maka kepada komunitas-komunitas itulah, pada tempat pertama, pembacaan Alkitab dipercayakan. Sabda Allah sungguh-sungguh sangat relevan-lebih-lebih karena kapasitas yang melekat dalam "peristiwa-peristiwa mendasar" (Keluaran dari Mesir, sengsara dan kebangkitan Yesus) untuk secara terus-menerus menemukan perwujudannya yang baru dalam perjalanan sejarah.

Teologi pembebasan mengandung unsur-unsur yang nilainya tidak perlu diragukan: kesadaran mendalam akan kehadiran Allah yang menyelamatkan; penekanan pada dimensi iman yang komunal; desakan akan kebutuhan akan suatu praksis yang membebaskan yang berakar pada keadilan dan kasih; pembacaan Alkitab yang baru yang mencoba membuat Sabda Allah menjadi terang dan santapan bagi Umat Allah di tengah-tengah perjuangan dan harapannya. Dalam semua hal ini, teologi pembebasan menggaris bawahi kemampuan teks yang diinspirasikan untuk berbicara kepada dunia zaman sekarang.

Akan tetapi, pembacaan Alkitab dari sudut pandang keprihatinan demikian juga mengandung risiko. Karena teologi pembebasan terikat pada suatu gerakan yang masih dalam proses perkembangan, maka hal-hal yang menyertainya juga hanya bersifat semen tara.

Model pembacaan ini dipus atkan pada teks-teks naratif dan kenabian yang menyoroti situasi-situasi penindasan dan yang mengilhami praksis yang menuntun pada perubahan sosial. Kadang-kadang, pembacaan seperti itu bisa menjadi amat terbatas, tidak memberi cukup perhatian pada teks-teks lain dalam Alkitab. Memang benar bahwa eksegese tidak bisa bersifat netral, tetapi harus juga tetap diwaspadai supaya eksegese tidak menjadi berat sebelah. Tambahan lagi, aksi sosial dan politik bukan merupakan tugas langsung para ekseget.

Didorong oleh keinginan untuk memasukkan pesan alkitabiah ke dalam suatu konteks sosial-politis tertentu, beberapa teolog dan ekseget menggunakan berbagai instrumen untuk menganalisis realitas sosial. Dalam perspektif ini, aliran-aliran teologi pembebasan tertentu menggunakan model analisis yang diilhami oleh ~aran-ajaran kaum materialis dan dalam kerangka acuan itu jugalah mereka membaca Alkitab. Praktek ini perlu dipertanyakan, khususnya pada saar pembacaan Alkitab mengikutsertakan prinsip-prinsip perjuangan kelas dari kaum Marxis.

Karena adanya tekanan dari problem-problem sosial yang luar biasa, dapat dipahami adanya penekanan lebih pada suatu eskatologi yang bersifat duniawi. Kadang-kadang hal ini menimbulkan kerugian bagi dimensi-dimensi eskatologi alkitabiah yang lebih bersifat transenden.

Perubahan sosial dan politik yang terjadi baru-baru ini membuat pendekatan ini bertanya pada diri sendiri sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan baru dan untuk mencari arah barujuga. Bagi perkembangan lebih lanjut dan kegunaan pendekatan ini bagi Gereja, satu faktor yang menentukan adalah klarifikasi dari pengandaian hermeneutis, metode, dan kOherensinya dengan iman dan Tradisi Gereja secara keseluruhan.

2.Pendekatan Feminis
Asal-usul hermeneutika alkitabiah gerakan feminis bisa ditemukan di Amerika Serikat menjelang akhir abad ke-19. Dalam konteks perjuangan sosio-budaya bagi hak-hak perempuan, dewan editor dari suatu komisi yang bertanggung jawab atas revisi Alkitab menghasilkan The Woman's Bibledalam duajilid (New York 1885,1898). Gerakan ini bertumbuh subur pada tahun 1970-an dan sejak saat itu mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan munculnya gerakan-gerakan untuk pembebasan kaum perempuan, khususnya di Amerika Utara agar lebih tepat, beberapa bentuk hermeneutika alkitabiah gerakan feminis harus dibedakan, karena pendekatan-pendekatan yang digunakan sangat beragam. Semua pendekatan itu bermuara pada satu tema yang sama, yakni perempuan, dan pada satu tujuan yang sama, yakni pembebasan perempuan dan tuntutan untuk memperoleh.hak yang sama seperti yang dinikmati oleh kaum laki-laki.

Bisa disebutkan di sini tiga bentuk pokok dari hermeneutika alkitabiah gerakan feminis, yaitu bentuk radikal, bentuk neo-ortodoks, dan bentuk kritis.

Bentuk radikal menolak seluruh wibawa Alkitab, dengan berpendapat bahwa Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki yang semata-mata bermaksud untuk meneguhkan dominasi laki-lakj atas perempuan yang sudah berlangsung lama.

Hermeneutika feminis dalam bentuknya yang neo-ortodoks menerima Alkitab sebagai bersifat profetis dan potensial untuk pelayanan, paling tidak sejauh Alkitab berpihak pada kaum tertindas, dan demikian juga pada kaum perempuan. Orientasi irii diambil sebagai" kanon di dalam kanon", untuk menyoroti apa pun di dalam Alkitab yang berpihak pada pembebasan kaum perempuan dan pemulihan hak-hak mereka.

Semen tara hermenutika feminis dalam bentuk kritis dengan menggunakan metodologi yang cerdik, mencoba menemukan kembali posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan dalam jemaat-jemaat Paulinis. Dalam periode terse but, demikian mereka berpendapat, berlaku suatu kesetaraan tertentu. Akan tetapi, kesetaraan terse but sebagian besar tersembunyi dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Hal ini semakin menjadi masalah ketika kecenderungan patriarki dan androsentrisme menjadi semakin dominan.

Hermeneutika feminis tidak mengembangkan suatu metodologi yang baru. Ia menggunakan metode-metode tafsir yang ada, terutama metode historis-kritis, namun menambah dua kriteria penelitian.

Pertama adalah kriteria feminis, yang dipinjam dari gerakan pembebasan perempuan, segaris dengan arah gerakan teologi pembebasan yang lebih umum. Kriteria ini menggunakan hermeneutika kecurigaan: karena sejarah biasanya ditulis oleh para pemenang, maka untuk menentukan kebenaran yang utuh perlulah bahwa orang tidak begitu saja percaya pada teks-teks seperti apa adanya, melainkan mencari tanda-tanda yang mungkin bisa menyatakan sesuatu yang berbeda sama sekali.

Kedua adalah kriteria sosiologis; yang didasarkan pada kajian ten tang masyarakat dalam periode alkitabiah, stratifikasi sosiaI dan peran yang diberikan masyarakat kepada kaum perempuan.

Sehubungan dengan tulisan-tulisan Perjanjian Baru, tujuan studi, dalam satu kata, bukanlah gagasan tentang perempuan sebagaimana diungkapkan dalam Perjanjian Baru tetapi rekonstruksi historis dari dua situasi yang berbeda dari kaum perempuan dalam abad pertama: yang merupakan norma dalam masyarakat Yahudi dan Greko-Romawi dan yang mewakili pembaruan yang mendapat bentuk dalam kehidupan publik Yesus dan dalam jemaat-jemaat Paulinis, di mana para murid Yesus membentuk "suatu komunitas dari orang-orang yang sederajat." Gal 3:28 adalah teks yang sering dikutip untuk mempertahankan pandangan ini. Tujuannya adalah menemukan kembali untuk zaman sekarang, sejarah yang terlupakan dari peran kaum perempuan pada periode awal Gereja.

Eksegese feminis telah memberikan banyak manfaat. Kaum perempuan mengambil bagian yang semakin aktif dalam penelitian eksegetis. Bahkan sering kali mereka melihat lebih berhasil daripada laki-laki dalam mencermati kehadiran, makna, dan peran perempuan dalam Kitab Suci, dalam Kekristenan awal dan dalam Gereja. Pandangan ten tang dunia di zaman sekarang, karena perhatian yapg lebih besar akan martabat perempuan dan peran mereka dalam masyarakat dan dalam Gereja, memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan baru dibawa ke hadapan teks alkitabiah, yang pada gilirannya memungkinkan munculnya penemuan-penemuan baru. Kepekaan perempuan bermanfaat untuk menanggalkan kedok dan mengoreksi penafsiran-penafsiran yang telah diterima secara umum yang ternyata tendensius dan berusaha mencari pembenaran bagi dominasi laki-laki atas perempuan. Berkaitan dengan Perjanjian Lama, beberapa kajian berusaha untuk memahami gambaran tentang Allah secara lebih baik. Allah Alkitab bukanlah proyeksi dari mentalitas patriarkal. Dia adalah Bapa, tetapi juga Allah kelembutan dan kasih keibuan.

Eksegese feminis, sejauh beranjak dari suatu penilaian yang sudah terbentuk sebelumnya, mengandung risiko untuk menafsirkan teks alkitabiah secara tendensius dan karena itu bisa diperdebatkan. Untuk meneguhkan posisinya, penafsiran feminis, karena menginginkan sesuatu yang lebih baik, sering kali menggunakan argumen-argumen ex silentio. Seperti sudah kita ketahui, argumentasi seperti ini umumnya dipandang dengan amat hati-hati: argumentasi ini tidak pernah memadai unruk membangun suatu kesImpulan dengan basis yang kokoh. Di sisi lain usaha yang dilakukan, atas dasar petunjuk-petunjuk yang sudah ada dalam teks-teks itu, untuk menyusun kembali situasi historis di mana teks-teks yang sama ini dianggap telah disusun untuk menyembunyikan situasi tersebut- hal ini sama sekali tidak sesuai dengan karya eksegese sebagaimana biasanya dimaksud. Penafsiran feminis mengandung penolakan terhadap isi teks yang diilhami demi suatu konstruksi hipotetis, yang sifatnya sangat berbeda.

Eksegese feminis sering kali mempertanyakan masalah-masalah kekuasaan di dalam Gereja, masalah yang memunculkan diskusi, dan bahkan pertentangan. Dalam bidang ini, eksegese feminis hanya dapat bermanfaat bagi Gereja sejauh eks~gese itu tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama yang dicelanya dan sejauh tidak mengabaikan pada ajaran injili ten tang kekuasaan sebagai pelayanan, suatu ajaran yang disampaikan Yesus kepada semua murid-Nya, baik laki-laki maupun perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar